PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( ABK)

Posted on 6 Maret 2010by IGPKhI JATENG
Mencoba memahami dunia pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ( ABK) sebagai upaya perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan di Indonesia.

SIAPA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ?
Persepsi atas layanan pendidikan bagi anak Indonesia tak berhenti pada sudut persimpangan jalan, tetapi  berjalan layaknya arah depan kita yang tak mengenal kata buntu dalam hidup. Dari waktu ke waktu persepsi atau pemaknaan atas istilah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mengalir bagai air mencari tempat yang bemakna.

Semua persepsi itu benar pada zamannya.  Anak berkebutuhan khusus adalah sebagai pengganti istilah lama anak cacat atau penyandang cacat.  Sebenarnya istilah Anak Bekebutuhan Khusus adalah untuk menunjuk mereka yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial. Pemerintah memahami atas dasar kondisi keterbatasannya sehingga berasumsi anak yang memiliki kekurangan dan kelebihan kemampuan  khususnya dalam bidang pendidikan memiliki kebutuhan pendidikan  secara khusus.

Atas dasar persepsi itulah akhirnya  menempatkan status   bagi anak yang memiliki kekurangan dan kelebihan kemampuan  sebagai  Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pemerintah menempatkan keterbatasannya untuk mengukur kebutuhan layanan, khususnya layanan pendidikan. Persepsi ini tidak salah, tetapi menurut hemat penulis, sudah saatnya layanan pendidikan didasarkan pada potensi yang dimiliki anak.

PENDIDIKAN BAGI ABK
Anak Bekebutuhan Khusus pada awalnya dikenal sebagai Anak Luar Biasa (ALB)   sehingga pendidikannya juga dikenal sebagai Pendidikan Luar Biasa (PLB),  lembaga pendidikannya juga dikenal sebagai Sekolah Luar Biasa (SLB).

Perkembangan selanjutnya dalam bidang pendidikan  pasal 5 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 mengganti istilah Pendidikan Luar Biasa menjadi Pendidikan Khusus  dengan menjamin  bahwa ” Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus “. Selain itu ayat 4  juga menjamin  bahwa ”  Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus “. Jadi kelainan ditinjau dari kekurangan dan kelebihannya.
Selanjutnya lembaga pendidikan  bagi ABK  dapat kita pahami atas dasar UU No. 20 tahun 2003  Pasal 15 yakni   Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.  Sedangkan pasal 32  ayat 1  UU No. 20 Th  2003  menegaskan bahwa ”  Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa “.
Oleh karena itu sebagai lembaga pendidikan jalur pendidikan formal jenjang PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, maka lembaga pendidikan dalam koridor pendidikan khusus untuk semua jenjang harus berpedoman pada UU No. 20 Tahun 2003.  Dari segi lembaga dan jenjang  Pendidikan Khusus  meliputi Jenjang PAUD adalah  TKLB, Jenjang Pendidikan Dasar adalah SDLB dan SMPLB, sedang untuk jenjang Pendidikan Menengah  adalah SMALB.

Selanjutnya secara teknis operasional pendidikan khusus diatur  dengan  Permendiknas No. 01 tahun 2008 tentang Standar Operasional Pendidikan Khusus yang secara sederhana dapat dipahami sbb :

  • Pengelompokan siswa adalah bagian A untuk siswa Tunanetra, bagian B untuk siswa Tunarungu, bagian C untuk siswa Tuangrahiata ringan, Bagian C1 untuk siswa Tunagrahita sedang,  Bagian D untuk siswa Tunadaksa, bagian D1  untuk siswa Tunadaksa sedang  dan bagian E untuk  anak Tunalaras.
  • Pengelolaan kelas diatur untuk jenjang TKLB dan SDLB maksimum 5 anak per kelas, dan untuk SMPLB dan SMALB  8 anak perkelas.
  • Kurikulum yang diterapkan adalah KTSP  dalam bentuk kurikulum jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB masing-masing untuk bagian A, B, C, C1, D, D1  dan E
    Pembelajaran bersifat indifidual.
  • Pembagian tugas untuk jenjang TKLB dan SDLB  adalah guru kelas, sedang untuk SMPLB dan SMALB  sebagai guru matapelajaran.
  • Persyaratan untuk menjadi guru pada  TKLB dan SDLB diharuskan  berijazah S1 (sarjana) Pendidikan Khusus (PK)  atau Pendidikan Luar Biasa (PLB), sedang untuk guru SMPLB dan SMALB dapat S1 PK / PLB  atau S1 matapelajaran yang diajarkan di SMPLB dan SMALB.

PEMBINAAN
Pada saat Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 masih berlaku, pembinaan SLB berada di Pemerintah Provinsi. Kewenangan penyelenggaraan SLB berada di Dinas Pendidikan Provinsi. Atas kondisi ini ( pada saat itu) Pemerintah Kabupaten belum menempatkan pembinaan SLB sebagai tanggungjawabnya. Pembinaan dititipkan pada Pengaswas TK/SD. Bagi SDLB tak masalah, tetapi bagi SMPLB dan SMALB adakalanya  menemui situasi yang kurang menguntungkan.  Hal ini berlangsung hingga lahir PP No. 38 Tahun 2007.

Perkembangan selanjutnya pembinaan umum kelembagaan mengacu  pada UU No. 32 tahun 1999  dan PP No. 38 Tahun 2007  dimana pada hakekatnya adalah sama dengan pembinaan terhadap pendidikan jenjang PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah pada umumnya.  Hal yang membedakan adalah pembinaan teknis pendidikannya. Atas dasar ketentuan ini selanjutnya   SECARA NORMATIF tanggungjawab pembinaan berada di pundak PEMERINTAH KABUPATEN melalui dinas terkaitnya. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat sifatnya memvasilitasi.
Oleh karena itu demi terselenggaranya  pembinaan teknis, idealnya setiap Kabupaten memiliki minimal seorang Pengawas Pendidikan Khusus, sehingga diharapkan pembinaan teknis edukatif tidak terlewatkan.

KENDALA YANG DIHADAPI

  • Kendala  senantiasa kita temui dan kita hadapi  dalam perjalanannya hingga sekarang,  walaupun kita sadar bahwa pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus  pada hakekatnya sama dengan pelayanan pendidikan pada umumnya. Akan tetapi inilah kenyataannya.
  • Kendala dari sisi anak, belum semua anak dapat mengikuti program pendidikan khusus karena berbagai sebab.
    Kendala dari sisi tenaga guru, entah karena apa, dari dahulu hingga sekarang jumlah tenaga guru belum mencukupi.
    Masih minimnya publikasi dan sosialisasi,  sehingga adakalanya masyarakat kurang mengetahui keberadaan TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB di daerahnya, serta minimnya dukungan stikholder  yang ada.
  • Kendala dari sisi pembinaan ( menurut hemat penulis) ada beberapa sebab  antara lain :
    Belum tercipta kesamaan persepsi di jajaran pendidikan khusus ( SDLB, SMPLB, dan SMALB) sehingga ada yang belum bisa menerima  kenyataan bahwa aturan normatif nya pembinaan  adalah PP No. 38 Tahun 2007. Ada sebagian sekolah (khususnya swasta)  yang masih berbeda persepsi dengan pembina di tingkat kabupaten.
  • Demikian pula di jajaran pembina pendidikan kabupaten, masih ada sebagian pembina tingkat Pemerintah Kabupaten yang belum berkenan menempatkan pendidikan khusus sebagai bagian dari tanggungjawabnya.  Hal ini  berdampak pada terbatasnya pembinaan dalam segala aspeknya. Mudahan ini kerliru !
  • Apabila telah tercipta kesepaham di tingkat Pembina Kabupaten, belum semua Kabupaten memiliki seorang pengawas Pendidikan Khusus  sebagai pembina teknisnya.
  • Belum tercipta kesamaan persepsi bentuk pembinaan terhadap pendidikan khusus antara jajaran Pembina tingkat Provinsi, Tingkat kabupaten dasn kalangan sekolah sendiri. Ini sebuah kenyataan

Tinggalkan Balasan